Senin, 29 September 2014

Bunda bahagia, anak bahagia

Tulisan ini dimuat di majalah SEKAR

Sering kali aku bertanya dalam hati. Apakah aku sudah menjadi bunda yang baik untuk anakku. Hal ini bukan karena semata-mata aku adalah seorang bunda baru dengan seorang putra yang kini berusia 4 tahun. Tapi karena aku merasa emosiku belum benar-benar stabil sebagai seorang bunda yang baik.
Selama 4 tahun ini dalam mengasuh balitaku, banyak suka duka yang aku alami. Dan hal sedih yang kerap terjadi adalah ketika aku memarahi si kecil. Saat sedang emosi, aku bisa melakukan hal kasar pada anakku. Dan selalu berakhir dengan rasa menyesal. Tapi tak urung ketika si kecil kembali membuat aku kesal, perlakuan kasar pun terulang lagi. Aku ingat suatu waktu ketika aku membentak si kecil supaya jangan menangis lagi, dan aku berkata sesuatu secara sembarangan. Lalu si kecil pun sambil terisak menjawab dengan terpatah-patah, “ aku mau digendong sama bunda, aku memang bukan apa-apa”. Rasanya saat itu akulah ibu terburuk sedunia dan aku merasa sungguh perlu untuk bertemu seorang psikiater karena aku telah menjadi seorang ibu yang tidak waras lagi.
Aku memang mempunyai kenangan yang tidak menyenangkan ketika pertama kali menjadi seorang bunda. Aku mengalami baby blues parah. Aku tinggal serumah dengan orang tuaku saat itu, dan aku merasa mereka tidak banyak mensupport aku. Ibuku hanya sedikit mengajari aku soal merawat bayi, dan apa yang kulakukan selanjutnya jarang sekali dipuji, padahal itulah yang aku butuhkan untuk bersemangat menjadi seorang bunda. Sehingga sampai saat ini  setiap mendengar si kecil menangis, emosiku langsung mudah naik.
Saat mengatasi tangisan si kecil yang kadang disertai teriakan-teriakannya, aku sering kewalahan. Aku merasa para tetangga yang mendengar teriakan anakku akan mencap aku sebagai seorang bunda yang gagal. Aku sendiri jarang mendengar tangisan dari anak tetangga yang seumuran dengan anakku. Aku merasa mereka berhasil menjadi seorang ibu yang sabar kepada anaknya, berbeda denganku.
Tetapi, aku terus berusaha untuk menjadi bunda yang baik, yang memahami anak sepenuhnya. Kini aku bisa lebih bersabar ketika si kecil sedang rewel. Aku catat apa saja cara-cara yang berhasil untuk meluluhkan kerewelan si kecil, dan aku tempel di lemari baju. Aku pun meminta suami untuk ikut membacanya dan menerapkannya berdua. Aku kadang bertanya pada suami apakah aku sudah menjadi bunda yang baik, suamiku tersenyum dan berkata “Iya, bunda sekarang sudah menjadi lebih sabar “. Aku senang mendengarnya.
Informasi mengenai parenting aku baca dengan seksama. Juga aku mempunyai buku tentang kisah-kisah para ibu baru. Sungguh menyentuh dan ada yang mirip dengan yang aku alami. Aku semakin bersemangat untuk terus belajar. Memang aku tak akan mungkin menjadi bunda yang terbaik, tapi dengan berusaha pastilah bisa menadi lebih baik.
Hal penting yang aku pelajari dalam proses ini, yakni kita harus bisa membuat diri sendiri bahagia terlebih dahulu. Dengan pikiran yang tenang dan positif, maka aku yakin bahwa anak juga akan merasa aman, tenang dan senang. Tidak perlu juga merasa khawatir dan cemas atkan tanggapan atau penilaian orang lain, kalau kita memang belum mampu ya tidak apa-apa, diakui saja,dan kita terus belajar. Bunda yang bahagia menghasilkan anak yang juga bahagia.

4 komentar:

Moocen Susan mengatakan...

Setuju mak, kalau bunda bahagia anak juga bahagia hehe

Niken Nuswantari mengatakan...

yup, hihi happy mom make happy family mak

Mimi Affandi mengatakan...

Semangat terus, Mak :D

http://thehappymimi.blogspot.com/

Niken Nuswantari mengatakan...

trimkasih mak mimi :) *hugs

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan memberi komentar

 

Template by Web Hosting Reviews